PANDANGAN HUKUM PUTUSAN MAHKAMA KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

  • Whatsapp
PANDANGAN HUKUM PUTUSAN MAHKAMA KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

OPINI : Oleh Jamal Aslan (Praktisi Hukum)

Bahwa PT Gema Kerasi Perdana yang diwakili oleh Rasnius Pasaribu selaku Direktur Utama yang diwakili oleh Kuasa Hukum tertanggal 28 Maret 2023 telah mengajukan permohonan pengujuan Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945  berdasarkan Akta Pengajuan Permohonan Pemohon Nomor 30/PUU/PAN.MK/AP3/03/2023 dan telah dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi Elektronik (e-BRPK) dengan Nomor 35/PUU-XXI/2023 pada tanggal 30 Maret 2023, yang telah diperbaiki dan diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 26 April 2023.

Bacaan Lainnya

Bahwa Pemohon merasa hak-hak konstitusionalnya telah dirugikan atas ambiguitas makna Pasal 23 ayat (2) dan Pasal 35 huruf (k) Undang-Undang nomor 27 Tahun 2007 berikut perubahannya melalui Undang-Undang No. 1 Tahun 2014 tentang Perubahan UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, sehingga kedua pasal tersebut ditafsirkan oleh Mahkamah Agung RI sebagai larangan tanpa syarat terhadap kegiatan pertambangan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil khususnya di wilayah Kabupaten Konawe Kepulauan melalui putusan No. 57P/HUM/2022 tanggal 22 Desember 2022, padahal norma larangan Pasal 35 huruf (k) merupakan norma larangan bersyarat.

Bahwa dengan penafsiran tersebut telah menimbulkan kerugian konstitutional bagi Pemohon karena tidak ada kepastian hukum dalam berusaha sesuai dengan perijinan yang telah dimiliki Pemohon serta menimbulkan ketidakadilan bagi Pemohon karena terancam tidak dapat meneruskan kegiatan usahanya, padahal Pemohon telah memenuhi semua kewajiban sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Tidak adanya kepastian hukum tersebut berarti bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang menjamin kepastian hukum bagi seluruh warga negara Indonesia.

Oleh karenanya pemohonon memohonkan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memberikan penafsiran terhadap Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 jo. UU No. 1 Tahun 2014 dengan menyatakan bahwa pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, sepanjang dimaknai sebagai larangan terhadap semua kegiatan lain selain yang diprioritaskan dalam pasal dimaksud termasuk larangan kegiatan pertambangan (inkonstitutional bersyarat).

Demikian juga terhadap Pasal 35 huruf (k) UU No. 27 Tahun 2017 jo. UU No.1 Tahun 2014 bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 sepanjang dimaknai sebagai larangan terhadap kegiatan pertambangan secara mutlak tanpa syarat. Atau, dapat juga Mahkamah Konstitusi RI memberikan keputusan konstitutional bersyarat terhadap pengujian Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 jo. UU No. 1 Tahun 2014 dengan menyatakan bahwa pasal tersebut tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 sepanjang dimaknai tidak sebagai larangan terhadap semua kegiatan lain selain yang diprioritaskan dalam pasal dimaksud termasuk larangan kegiatan pertambangan. Dan menyatakan pula bahwa Pasal 35 huruf (k) UU No. 27 Tahun 2017 jo. UU No.1 Tahun 2014 tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 sepanjang tidak dimaknai sebagai larangan terhadap kegiatan pertambangan secara mutlak tanpa syarat.

Dalam memberikan telaah tersebut, legal opinion ini akan didasarkan pada beberapa rujukan sebagai instrument analisis yang diantaranya:
1. Pasal 24 c Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara RI Tahun 2009 No. 157, Tambahan Lembaran Negara RI No. 5076
3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316), sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-Undang No. 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia No. 70, Tambahan Lembaran Negara RI No. 5226),
4. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 (Lembaran Negara RI No. 5234) tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU No. 12/2011”) jo. UU Nomor 15 Tahun 2019 (Lembaran Negara Tahun 2019 No. 183, Tambahan Lembaran Negara RI No. 6398) tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan jo. Undang Undang No. 13 Tahun 2022 (Lembaran Negara RI Tahun 2022 No. 143, Tambahan Lembaran Negara RI No. 6801) tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,
5. Pasal 23 ayat (2) dan Pasal 35 huruf (k) UU No. 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta Perubahannya pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014.
6. Salinan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-XXI/2023

Guna mensegmentasikan pendapat hukum terhadap duduk perkara yang dimuat pada sub bab sebelumnya, pembahasan akan dibagi dalam beberapa aspek substantif yakni a. Tafsir sistematis terhadap pasal yang diuji (objectumlitis permohonan a quo); b. konstruksi analisis terhadap hak melakukan kegiatan pertambangan atau implikasi sistematik dalam memaknai putusan a quo.
1. Tafsir Sistematis terhadap pasal yang diuji
Pendekatan yang digunakan pada segmen pembahasan ini tidak secara utuh merujuk pada tafsir yang termuat dalam amar putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor: 35/PUU-XXI/2023. Elaborasi pasal-pasal aquo didudukan pada kaidah interpretasi yang lazim ditemukan dalam telaah khazanah ilmu hukum dengan maksud untuk menambah varian pertimbangan dalam memaknai ketentuan tersebut. Tidak bermaksud untuk menyebrangi prinsip res judicata proveritate habitur melainkan untuk mengungkap dimensi lain yang terurai dari konstruksi pengaturan pasal-pasal yang dimohonkan tafsir konstitusionalnya di Mahkamah Konstitusi.

Merujuk pada kasus posisi yang diuraikan, pemohon merasa adanya ambiguitas dalam konteks penerapan hukum melalui tafsir terhadap pasal yang diuji dalam perkara permohonan aquo. Untuk mengurai kelumit tersebut, terlebih dulu akan diuraikan substansi permohonan pemohon perihal substansi norma hukum atau irisan materi yang ditemukan dalam setiap norma hukum. Maria Farida, norma adalah suatu ukuran yang harus dipatuhi seseorang dalam hubungannya dengan sesamanya ataupun lingkungannya. Proyeksi ini tidak ubahnya diletakan dalam pemahaman bahwa norma ialah sebuah instrument yang mengikat sosial dalam dimensi pengaturan. Lebih spesifik, norma hukum dimaknai sebagai norma yang biasanya ditemukan dalam bentuk tertulis dan secara resmi penyusunannya diserahkan oleh lembaga berwenang dibawah naungan negara. Dengan demikian, karakteristik norma hukum dapat diidentifikasi melalui adanya unsur kuasa negara dalam membentuk hukum. Olehnya mengapa norma hukum memiliki daya ikat yang kuat dalam konteks hukum positif.Dalam dimensi isi atau materi, norma hukum memiliki acuan khusus untuk diikuti. Lebih dalam lagi, norma hukum Asshiddiqie norma hukum memiliki ciri-ciri yaitu kebolehan untuk melakukan sesuatu (permittere), anjuran positif untuk mengerjakan sesuatu, anjuran negatif untuk tidak mengerjakan sesuatu, perintah positif untuk melakukan sesuatu atau kewajiban (obligattere), perintah negatif untuk tidak melakukan sesuatu (prohibere). Menurut Apeldoorn sebagaimana dikutip Asshiddiqie, kaidah hukum yang bersifat imperatif biasa disebut juga dengan hukum yang memaksa (dwingendrecht), sedangkan yang bersifat fakultatif dibedakan antara norma hukum yang mengatur (regelendrecht) dan norma hukum yang menambah (aanvullendrecht). Kadang-kadang ada pula kaidah-kaidah hukum yang bersifat campuran atau yang sekaligus bersifat memaksa (dwingende) dan mengatur (regelende). Attamimi mengidentifikasi sifat norma hukum yang lebih condong pada dimensi kandungan atau substansi pengaturan yang terdiri dari:
• Pertama, perintah yang menggiring kewajiban umum untuk melakukan hal yang ditentukan (gebod);
• Kedua, larangan yang juga berkonotasi kewajiban untuk tidak melakukan substansi pengaturan tertentu (verbod);
• Ketiga, pembebasan (dispenisasi) atau sebuah pembolehan yang bersifat lex specialist untuk tidak melaksanakan sesuatu (verlov); dan
• Keempat, izin yang memuat pembolehan khusus guna menjalankan sesuatu yang dilarang oleh peraturan (teostemming).
Olehnya mengapa norma hukum terejawantahkan dalam proposisi yang diharuskan jelas dan tidak bertafsir jamak.

Kejelasan rumusan diharuskan guna memastikan implementasi aturan tidak melampaui tujuan pengaturan sebenarnya. Meskipun dalam pergumulan hukum dikenal adanya kaidah tafsir, namun dalam konteks kemurnian pengaturan norma hukum, tafsir terkadang dibuat terbatas dengan maksud untuk memastikan tidak keluarnya substansi pengaturan dengan pelaksanaan aturan.

Terutama dalam komposisi tafsir nilai konstitusionalitas, ke-rigid-an metode dan perspektif diupayakan demi menjaga independensi dan keluhuran nilai konstitusi.
Terdapat 5 (lima) sumber untuk memandu melakukan penafsiran atau interpretasi konstitusi, yaitu: the text and structure of constitution (teks dan struktur konstitusi), intention of those who drafted the constitution (maksud perancang konstitusi), prior precedent (usually judicial) (putusan hakim terdahulu, lazimnya badan peradilan), the social, political, and economic concequences of alternative interpretation (konsekuensi sosial, politik, dan ekonomi suatu penafsiran alternatif), natural law (higher law, God’s law). Model penafsiran diatas secara berkemanfaatan digunakan. Tidak ada acuan baku untuk memformulasi narasi tafsir tersebut. Selama dapat mengurai kebuntuan dalam memahami pengaturan tertentu, maka varian tafsir dapat digunakan baik Tunggal maupun secara kombinatif.

I casu. Secara lengkap, redaksi pasal 23 Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil berisikan pengaturan sebagai berikut:
“Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil dan perairan di sekitarnya diprioritaskan untuk salah satu atau lebih kepentingan berikut:
a. konservasi;
b. pendidikan dan pelatihan;
c. penelitian dan pengembangan;
d. budidaya laut
e. pariwisata;
f. usaha perikanan dan kelautan dan industri perikanan secara lestari;
g. pertanian organik; dan/atau
h. peternakan.”

Disisi lain pasal 35 Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil menguraikan:
“Dalam pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, setiap Orang secara langsung atau tidak langsung dilarang:
a. menambang terumbu karang yang menimbulkan kerusakan Ekosistem terumbu karang;
b. mengambil terumbu karang di Kawasan konservasi
c. menggunakan bahan peledak, bahan beracun, dan/atau bahan lain yang merusak Ekosistem terumbu karang;
d. menggunakan peralatan, cara, dan metode lain yang merusak Ekosistem terumbu karang;
e. menggunakan cara dan metode yang merusak Ekosistem mangrove yang tidak sesuai dengan karakteristik Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
f. melakukan konversi Ekosistem mangrove di Kawasan atau Zona budidaya yang tidak memperhitungkan keberlanjutan fungsi ekologis Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
g. menebang mangrove di Kawasan konservasi untuk kegiatan industri, pemukiman, dan/atau kegiatan lain;
h. menggunakan cara dan metode yang merusak padang lamun;
i. melakukan penambangan pasir pada wilayah yang apabila secara teknis, ekologis, sosial, dan/atau budaya menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau pencemaran lingkungan dan/atau merugikan Masyarakat sekitarnya;
j. melakukan penambangan minyak dan gas pada wilayah yang apabila secara teknis, ekologis, sosial dan/atau budaya menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau pencemaran lingkungan dan/atau merugikan Masyarakat sekitarnya;
k. melakukan penambangan mineral pada wilayah yang apabila secara teknis dan/atau ekologis dan/atau sosial dan/atau budaya menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau pencemaran lingkungan dan/atau merugikan Masyarakat sekitarnya; serta
l. melakukan pembangunan fisik yang menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau merugikan Masyarakat sekitarnya.”
Merujuk pada pokok permohonan pemohon, kedua pasal aquo dianggap multitafsir pada beberapa redaksi tertentu yang selanjutnya beririsan dengan kepentingan pemohon.

Diantaranya pada pasal 23 yaitu frasa “diprioritaskan” dan pasal 35 huruf k secara utuh. Terlebih dulu akan dijabarkan pemaknaan frasa “dipriorotaskan” sebagaimana dimaksud pada pasal 23 undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil. Secara grammatical, prioritas berakar pada frasa prority yang mengandung arti lebih penting daripada hal lain dan harus ditangani terlebih dahulu.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, prioritas diartikan sebagai hal yang didahulukan atau diutamakan. Dengan demikian, priotitas memuat makna bahwa pendahuluan atau pengarus utamaan dibanding dengan variable lainnya.

Jika sebuah entitas diletakan dalam proyeksi prioritas, maka realisasi atau perwujudan dari entitas tersebut lebih didahulukan dibanding segmentasi lainnya. Jika dikontekstualisasi dalam rumusan pasal 23 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil, maka paradigma pengaturan pasal aquo secara lex specialist maupun kegiatan pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan disekitarnya berdasarkan rezim pengaturan undang-undang aquo mendahulukan kegiatan konservasi, pendidikan dan pelatihan;, penelitian dan pengembangan;, budidaya laut, pariwisata, usaha perikanan dan kelautan dan industri perikanan secara Lestari, pertanian organik; dan/atau peternakan atau secara umum mendahulukan konsep pemanfaatan populis. Konsep ini dimaknai sebagai paradigma yang mendahukukan kepentingan umum non industrialisasi atau yang melibatkan kepentingan Masyarakat dalam skala yang lebih besar khususnya dalam perspektif kelestarian lingkungan.

Nuansa tersebut terbaca melalui konsiderasi penyusunan Undang-Undang aquo yang menjabarkan:
a. bahwa Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil merupakan bagian dari sumber daya alam yang dianugerahkan oleh Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan kekayaan yang dikuasai oleh negara, yang perlu dijaga kelestariannya dan dimanfaatkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, baik bagi generasi sekarang maupun bagi generasi yang akan datang;
b. bahwa Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil memiliki keragaman potensi Sumber Daya Alam yang tinggi, dan sangat penting bagi pengembangan sosial, ekonomi, budaya, lingkungan, dan penyangga kedaulatan bangsa, oleh karena itu perlu dikelola secara berkelanjutan dan berwawasaan global, dengan memperhatikan aspirasi dan partisipasi masyarakat, dan tata nilai bangsa yang berdasarkan norma hukum nasional;
Jika dicermati sifat dari pengaturan pasal aquo, sejatinya nuansa pelarangan cukup kuat dalam pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil karena disandingkan pada pertimbangan kelestarian lingkungan.

Namun, merujuk pada konsiderasi diatas, maka pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil “dibolehkan” selama dilaksanakan dengan mengedepankan paradigma sustainable development, kepentingan masyakat secara sosiologis serta konsep kebijakan hukum nasional.

Pertanyaan selanjutnya, bagaimana dengan singkronisasi rumusan pasal 35 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil. Menelisik substansi pasal tersebut, secara expelicit verbis nampak karakter larangan secara tegas. Larangan tersebut terkonotasi dalam agenda pemanafaatan yang linear dengan pasal-pasal lainya.

Hal ini dapat ditengarai melalui penempatan pasal aquo yang berdasarkan prinsip titulus est lex rubrica est lex berada dalam satu segmen pengaturan dengan pasal lainnya yang memuat ketentuan pengaturan kegiatan pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Pasal aquo seharusnya dimaknai sebagai upaya untuk memastikan batasan dalam hal pemanfataan sebagaimana dimaksud pada pasal-pasal lainnya.

Larangan itu justru seharunsya dimaknai sebagai peringatan untuk tidak melakukan pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dengan pendekatan aktivitas yang masuk dalam pengaturan pasal tersebut.
Namun yang menarik ialah penunjukan adresaatnorm pada pasal tersebut yang spesifik dialamatkan pada natuurlijk person atau orang.

Jika yang melakukan larangan tersebut ialah rechtpersoon apakah pasal aquo diberlakukan sama jika subjek hukum pelaku secara faktualnya ialah orang? Disisi lain jika yang melakukan larangan pada pasal aquo ialah Badan Hukum apakah kemudian dimensi pengaturan pasal 35 secara umum dapat diterapkan terlebih yang berpotensi melakukan kegiatan pertambangan pada ration loci/locus delicti tersebut bukan saja orang melainkan juga badan hukum. Hal tersebut semakin kontras jika disandingkan dengan rumusan pasal 73 ayat 1 huruf f Undang-undang aquo yang memberikan ancaman pidana terhadap kegiatan yang melanggar larangan sebagaimana dimaksud pada pasal 35 huruf k.

Ketentuan ini tentu akan menarik perdebatan Panjang dalam konteks pemidanaan, khususnya mengenai keterbatasan subjek hukum antara pasal 35 huruf k dan pasal 73 ayat 1 huruf f Undang-Undang aquo.
Terlepas dari isu diatas, pasal 35 huruf k Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil seyogyanya harus dimaknai sebagai larangan, namun bukan tergolong larangan mutlak atau lebih tepat disebut sebagai larangan bersyarat (conditionally prohibited). Jika dalam aktivitas pertambangan dimaksud dilaksanakan dengan memperhatikan aspek teknis, ekologis, sosial dan/atau budaya menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau pencemaran lingkungan dan/atau merugikan Masyarakat sekitarnya maka larangan tersebut dapat dimaknai sebagai pembolehan (verlof).

Hal ini senada dengan beberapa substansi rumusan pertimbangan yang termuat dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor NOMOR: 35/PUU-XXI/2023 (vide. Putusan halam 704). Pembolehan tersebut dipertegas melalui penyediaan mekanisme perizinan yang dimuat lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan tentang pertambangan.
2. Konstruksi Analisis Terhadap Hak Melakukan Kegiatan Pertambangan Atau Implikasi Sistematik Dalam Memaknai Putusan A Quo.

Sebagaimana dipahami bahwa undang-undang merupakan produk hukum yang paling beririsan dengan kepentingan public.

Keberadaan undang-undang dengan karakter regeling memberikan dampak pengaturan umum sehingga setiap adressatnorm yang berhubungan dengan dimensi pengaturan dituntut patuh dan menjalankan secara penuh muatan materi undang-undang. Disis Oleh karenanya, tidak jarang muatan materi undang-undang dianggap mengangkangi prinsip serta hak-hak sipil warga negara. Peluang tersebut dapat saja terjadi mengingat dimensi pengaturan undang-undang yang melingkupi setiap aspek yang menjadi objectumlitis serta ruang lingkup pengaturan.

Peletakkan kekuasaan membentuk undang-undang kepada lembaga politik memberikan pengaruh signifikan terhadap substansi norma hukum yang termuat didalamnya. Tak jarang, konstruksi muatan materi undang-undang dianggap tersusupi oleh tendensi politis yang mengabsorsi kepentingan public.

Dalam pandangan ini, diperlukan sebuah skema yang dapat memastikan terkanalisasinya akomodasi kepentingan tersebut melalui model pengawasan norma yang diletakkan dalam perspektif konstitusionalisme (pembatasan kekuasaan dan perlindungan hak asasi manusia).
Konsep netralisasi tendensi poltik dalam rumusan undang-undang dielaborasi dalam sebuah pahaman yang dikenal dengan Judicialization of politics.

Alec Stone Sweet menyatakan bahwa:
“Judicialization of politics is the intervention of constitutional judges in legislative processes, establishing limits on law-making behavior, reconfiguring policymaking environments, and sometimes, drafting the precise terms of legislation”
Secara sederhana, “judicialization of politics” dapat dijelaskan sebagai peningkatan peran lembaga kehakiman dalam memutuskan perkara yang berkaitan dengan kebijakan publik yang memiliki dimensi politis. Hal ini dilakukan dengan tujuan membatasi wewenang cabang-cabang kekuasaan lain yang mewakili mayoritas. Proses ekspansi ini adalah konsekuensi alami dari penerapan doktrin supremasi konstitusi dan inklusi hak asasi manusia dalam kerangka konstitusi.

Pahaman ini mendorong kehadiran sebuah badan peradilan yang lex specialist menguji konsistensi substansi undang-undang sejalan dengan konstitusi.  Rachel Sieder menguraikan setidaknya konsep judcialization of politics dibentuk berdasarkan adanya kehendak untuk membentuk peradilan konstitusi yang terseparasi dari keberadaan Mahkamah Agung sebagai pelaksana fungsi kehakiman.

Keberadaan Mahkamah Konstitusi dianggap sebagai penegak komitmen terhadap konstitusi, pengayom hak asasi, dan lembaga yang memiliki kewenangan untuk menyelesaikan pertikaian kebijakan sosial melalui proses tinjauan yudisial.

Konsep tersebut memberikan pengaruh tidak saja dalam pemaknaan keberadaan Mahkamah Konstitusi melainkan juga pada aspek yang lebih luas yaitu dalam pengejawantahan fungsi kelembagaannya. Mahkamah Konstitusi menegakkan diasosiasikan pada penegakan ‘keadilan substansif.

Dalam rangka mewujudkan keadilan substantive melalui pelaksanaan kewenangannya, Mahkamah Konstitusi tidak hanya berdasarkan semangat legalitas formal undang-undang semata, tetapi juga konsisten untuk tanggungjawab tujuan norma hukum itu sendiri, yakni substantifnya. Komposisi argumen demikian menisbahkan Mahkamah Konstitusi dianggap menterjemahkan 3 (tiga) fungsi secara simultan diantaranya sebagai pengawal  konstitusi (the guardian of constitution), penafsir konstitusi (the interpretatur of constitusion) dan pelindung hak asasi manusia. Maruarar Siahaan menguraikan bahwa sejak di-inkoprasi-kannya Hak-hak asasi manusia dalam UD1945, hemat kami fungsi pelindung (Protector) konstitusi dalam arti melindungi hak asasi manusia (fundamental rights) juga benar adanya.

Kesemua fungsi tersebut dapat dideteksi melalui jenis dan sifat putusan Mahkamah sebagai instrument hukum yang lahir dari keluhuran proyeksi konstitusional.

Berkenaan dengan putusan Mahkamah Konstitusi, Marwarar Siahaan mengklasifikasikan jenis putusan Mahkamah Konstitusi menjadi tiga, yang antara lain: (1). declaratoir,(2), Constitutief,dan (3)Condemnatoir.

Putusan Mahkamah Konstitusi bermuatan comdemnatoir memberi hukuman pada pihak termohon untuk melakukan suatu perbuatan adalah sengketa antar lembaga negara dimana pasal 64 ayat (3) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi menentukan:
“Dalam hal permohonan dikabulkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), Mahkamah Konstitusi menyatakan dengan tegas bahwa termohon tidak mempunyai kewenangan untuk melaksanakan kewenangan yang dipersengketakan”.

Sedangkan sifat declaratoir dalam putusan Mahkamah Konstitusi tentang pengujian undang-undang ini sangat jelas dalam amarnya. Pasal 56 ayat (3) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi dikatakan sebagai berikut:
“Dalam hal permohonan dikabulkan sebagaimana dimaksud ayat (2), Mahkamah Konstitusi menyatakan dengan tegas materi muatan ayat, pasal,dan/atau bagian dari undang-undang yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.

Dalam hal ini, dengan tegas hakim akan menyatakan dalam amar putusannya bahwa materi muatan, ayat, pasal, dan/atau bagian dari undang-undang tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Sifat putusan tersebut hanyalah declaratoir dan tidak mengandung unsur penghukuman yang bersifat condemnatoir.

Selanjutnya kualifikasi putusan Mahkamah Konstitusi yang constitutief Dimana dalam konteks ini putusan Mahkamah meniadakan satu keadaan hukum yang lama dan mengakibatkan lahirnya keadaan hukum baru.

Mengenai jenis putusan Mahkamah Konstitusi dalam hal pengujian konstitusionalitas undang-undang, terdapat 3(tiga) kategori sebagai berikut.
• Pertama, Mahkamah Konstitusi menyatakan mengabulkan permohonan mengikat dalam hal permohonan beralasan menurut hukum dengan menyatakan materi muatan atau pembentukan Undang-Undang yang dimohonkan pengujian konstitusionalitas bertentangan dengan UUD 1945 dan oleh karenanya menyatakan pula tidak mempunyai kekuatan hukum.
• Kedua, Mahkamah Konstitusi menyatakan menolak permohonan Pemohon dalam hal permohonan tidak terbukti beralasan menurut hukum,
• Ketiga, Mahkamah Konstitusi menyatakan permohonan tidak diterima dalam hal permohonan tidak memenuhi syarat formal pengajuan permohonan.

Namun dalam praktiknya, Mahkamah Konstitusi menemukan Undang-Undang yang secara tekstual konstitusional, namun dalam implementasinya tidak konstitusional.

Hal tersebut terjadi sebagai akibat dari pemaknaan norma yang tidak tepat terhadap teks yang ada, sehingga ditemukan pertentangan antara norma yang terdapat didalamnya dan fakta implementasinya. Terhadap hal yang demikian Mahkamah Konstitusi tidak dapat memutuskan dengan putusan yang sepenuhnya mengabulkan, melainkan mengabulkan sebagian, yaitu dengan putusan yang bersyarat (conditionally unconstitutional/contitutional).

Varian putusan ini secara segmentatif sebenarnya lebih berat pada komposisi tafsir Mahmakah terhadap konstitusionalitas objek yang diuji.
Dalam penerapanya, terkadang ditemukan satu jenis putusan namun mengakomodir sekaligus dua sifat putusan.

Tidak ditemukan kebakuan putusan Mahkamah Konstitusi dalam memformulasi jenis dan sifat putusan dalam perkara tertentu. Sebut saja, tidak jarang dalam satu putusan yang terkategori dalam jenis putusan “menolak” namun didalamnya terdapat tafsir tertentu mengenai sebuah keadaan hukum tertentu. Jika disegmentasikan, putusan yang memuat tafsir sejatinya ditemukan dalam jenis putusan conditionally unconstitutional/constitutional sebagai bentuk implementasi dari fungsi the interpretatur of constitution peradilan konstitusi. Jika diformat dalam jenis putusan ini, maka secara jelas para pihak maupun akademisi, praktisi serta pemerhati hukum akan dengan mudah menerka arah substansi putusan tersebut.

Disamping itu, tafsir yang termuat dalam putusan Mahkamah Konstitusi yang conditionally unconstitutional/constitutional tidak akan memperuncing perbedaan pandangan perihal apakah tafsir tersebut mutatis mutandis mengikat atau tidak bersamaan dengan keberadaan putusan tersebut.

Perihal perbedaan pandangan atas penempatan pertimbangan putusan yang bermuatan tafsir dan jenis putusan secara utuh akan dibahas pada sub bahasan selanjutnya.

Substansinya adalah bahwa dalam setiap putusan Mahmakah Konstitusi sejatinya ditemukan agenda konstitusionalisme. Hal tersebut dapat dijiwai dari terejawantahnya fungsi-fungsi kelembagaan yang didasarkan pada konsep judicialization of politics diantaranya fungsi penafsir konstitusi. Korespondensi fungsi ini didirikan diatas upaya sistematis untuk memastikan implementasi pengaturan sebuah pasal atau undang-undang tertentu tidak keluar dari prinsip utamanya yakni pemenuhan hak dasar warga negara dan hak asasi manusia secara berkelanjutan.

Olehnya setiap putusan Mahkamah Konstitusi harus dimaknai membawa senyawa konstitusional, tidak saja berkonotasi mengakomodir kepentingan para pihak, ansich pemohon, meskipun pada segmen lain pemohonpun tidak lain merupakan justiabelen yang “mengais keadilan” dalam serpihan Kebajikan perenungan hakim konstitusi dalam putusan aquo. Konsolidasi kepentingan tersebut menitik beratkan pada pertimbangan utilitarianisme yakni memberikan sebesar-besarnya manfaat bagi sebesar-besarnya pihak.

Atas konsiderasi inilah mestinya putusan Mahkamah Konstitusi tidak saja menyelesaikan kebuntuan hukum melainkan juga mewujudkan kejelasan tafsir, makna dan implementasi setiap pihak khususnya dalam porsi konstitusionalitas dan agenda kemanusiaan, kemafaatan dalam hukum yang berkepastian.
In casu, berkenaan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-XXI/2023 yang substansi permohonan pemohon yang meminta tafsir terhadap pasal Pasal 23 ayat (2) jo pasal 35 huruf k Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 jo. UU No. 1 Tahun 2014 masih memunculkan ambiguitas bagi segelentir pihak. Dalam dictum putusan, Mahkamah Konstitusi menyatakan “Menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya”.

Jika dikontekstualisasikan dengan varian jenis dan sifat putusan, maka putusan aquo dapat teridentifikasi sebagai putusan yang mewakili sifat declaratoir. Terlebih dalam rumusan pertimbangan, Mahkamah bertahan dengan dalil yang menegaskan karakter muatan pengaturan dari objectumlitis permohonan (telah dijelaskan pada sub bab sebelumnya).

Yang memantik polemic sebenarnya ialah pada proposisi bagaimana menempatkan pertimbangan putusan aquo dengan jenis putusannya. Secara ringkas, Mahkamah berpendapat bahwa baik pasal 23 ayat 2 yang memberikan prioritas tertentu dalam kegiatan pemanfaatan wilayah peraian dan pulau-pulau kecil bukan serta merta dimaknai sebagai pembatasan terhadap kemungkinan untuk melakukan jenis kegiatan lain.

Termasuk pula pada esensi pasal 35 huruf k yang bersifat pembolehan bersyarat. Dengan demikian, dapat dinalari bahwa presepsi pemohon tidak jauh berbeda dengan dalil dan tafsir Mahkamah Konstitusi dalam perkara aquo.

Hanya saja, putusan “menolak ´tersebut seharusnya dimaknai bahwa Mahkamah berpendapat tidak perlu memperluas atau membuat tafsir khusus lagi perihal kedua pasal tersebut.

Sehingga berkenaan dengan ekspansi tafsir yang secara lex specialist dapat dijadikan dalil baru untuk melegitimasi kegiatan tertentu tidak diperlukan dan tidak beralasan. Dengan demikian sebenarnya putusan ini harus difokuskan pada dalil dan uraian pendapat Mahkamah, tidak saja dalam secara sempit mengartikan putusan “menolak”. Substansinya bukan pada “menolak” atau “dikabulkan” tetapi pada kesesuaian permohonan dan “ujung putusan” dan konsistensi Mahkamah Konstitusi untuk tidak melebarkan luasan penafsiran terhadap pasal aquo.

Lebih lanjut mengenai potensi dilakukannya kegiatan pertambangan pada wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil terlebih setelah adanya putusan Mahkamah Agung Nomor 57 P/HUM/2022 tentang Uji materiil terhadap Peraturan Daerah Kabupaten Konawe Kepulauan Nomor 2 Tahun 2021 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Konawe Kepulauan Tahun 2021-2041.

Sebelum mengurai isu hukumnya secara lebih dalam, terlebih dulu akan diuraikan perbedaan konteks pengujian yang diletakkan kepada Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi secara konstitusional dan kelembagaan. Dalam khazanah teostingrecht (teori pengujian) varian model pengujian setidaknya dibedakan dalam beberapa sudut pandang yang saling mempengaruhi. Apabila dikonkritkan, setidaknya terdapat 4 (empat) poros pertimbangan dalam mengurai kewenangan menguji norma hukum:
a. obyek uji”, berkaitan dengan apa diuji.

Jika yang diuji adalah substansi atau isi peraturan perundang-undangan nya, maka model pengujian ini masuk dalam kategori uji materi (materiele teosting).

Selanjunya, jika pengujian dilakukan pada hal yang berkaitan dengan keabsahan prosedur pembuatannya telah sesuai dengan Undang-Undang Dasar ,maka model pengujian tersebut adalah pengujian formil (formalee testing).
b. pelaksana kewenangan pengujian. Disini dijelaskan bahwa,hak uji (teostingrecht) dapat dilaksanakan oleh eksekutif, legislative, maupun judikatif.
c. Sifat pengujian.

Jika pengujian itu dilakukan terhadap norma hukum yang bersifat abstrak (general and abstract norm) secara a posteriori , maka pengujian itu disebut review.

Sedangkan jika pengujian itu bersifat apriori terhadap rancangan undang-undang yang telah melalui proses legislasi tetapi belum diundangkan maka varian pengujiannya disebut preview.
d. Batu uji yang digunakan untuk menguji.

Dalam hal ini, batu uji yang digunakan bisa saja Konstitusi dan kemudian disebut pengujian mengenai konstitusionalistas.

Selanjutnya adalah model pengujian yang menggunakan Undang-Undang sebagai batu uji atau selanjutnya disebut uji legalitas.

Berdasarkan formula tersebut, terjadi perbedaan kontras antara varian pengujian yang dijalankan oleh Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung.

Dalam perspektif konstitusional dan subjek, antara Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi Bersama-sama menjalankan kekuasaan kehakiman.

Maka dengan demikian, model pengujian dalam ius constitutum Indonesia setidaknya ditemukan penerapan judicial model, meskipun juga dalam varian subjek lainnya ditemukan fungsi yang sama.

Secara objectumlitis, Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi juga memiliki kesamaan, yakni yang diuji ialah norma hukum yang telah belaku atau model review. Perbedaan pengujian antar kedua Lembaga tersebut terproposisi pada perspective pengujuannya.

Mahkamah Agung menggunakan undang-undang sebagai instrument uji (batu uji) atau uji legalitas, sedangkan Mahkamah Konstitusi menggunakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia.

Dengan demikian, Ketika model pengujian dijalankan oleh Mahkamah Agung, nomenklatur yang tepat untuk mengkategorisasinya ialah “judicial constitutional review” dan Mahkamah Agung sebagai pelaksana fungsi “judicial legality review”.

Perbedaan instrument uji tersebut turut berdampak pada perbedaan penempatan hasil pengujian Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.

Putusan Mahkamah Konstitusi membawa senyawa konstitusional dalam penerapannya pada korespondensi undang-undang. Selanjutnya, putusan Mahkamah Agung menegaskan implementasi tersebut dalam pengejawantahan pengaturan lebih lanjut peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang.

Dari pertimbangan ini, in casu jika Mahkamah Konstitusi telah melimitasi tafsir tertentu dalam sebuah pasal atau keseluruhan undang-undang, maka konotasinya dimaknai sebagai tafsir konstitusional. Sehingga dalam hal menguji legalitas, Mahkamah Agung sepatutnya merapihkan implementasi tafsir tersebut agar tidak over lapping ketikan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang yang telah ditafsir oleh Mahkamah Konstitusi.

Sehingga jika dalam Putusan Mahkamah Konstitusi pasal 23 ayat (2) Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 jo. UU No. 1 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Khususnya dalam pemaknaan frasa “prioritas” tidak secara terbatas melimitasi kemungkinan bentuk pemanfaatan lain, maka Putusan Mahkamah Agung seharusnya meneguhkan pandangan tersebut. Demikian pula dalam hal memaknai pasal 35 huruf k Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 jo. UU No. 1 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil jika Mahkamah Konstitusi menggolongkan pasal aquo membawa substansi larangan bersyarat, maka putusan Mahkamah Agung tertib dalam hal menguji pengejawantahannya dalam peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang, dan demikianlah substansi Putusan Mahkamah Agung Nomor 57 P/HUM/2022 tentang Uji materiil terhadap Peraturan Daerah Kabupaten Konawe Kepulauan Nomor 2 Tahun 2021 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Konawe Kepulauan Tahun 2021-2041.

Dengan demikian, segala bentuk norma hukum khususnya yang berkarakter regeling maupun beschikking manakala merujuk pada Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 jo. UU No. 1 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil wajib membangun tafsir berdasar dan tidak boleh bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi maupun Mahkamah Agung dalam format dan keberadaan putusannya. In casu sebagaimana ketahui bahwa IUP PT GKP disusun dengan salah satunya berlandas pada Peraturan Daerah Kabupaten Konawe Kepulauan Nomor 2 Tahun 2021 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Konawe Kepulauan Tahun 2021-2041 yang dinyatakan bertentangan dengan Undang No. 27 Tahun 2007 jo. UU No. 1 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil oleh Mahkamah Agung.

Olehkarena itu, maka dengan sendirinya IUP tersebut kehilangan legalitas secara hukum. Namun, diperlukan prosedur lebih lanjut untuk menindaklanjuti serta menguji keberlakukan dari IUP tersebut.
Izin Usaha Pertambangan secara eksistensialis tergolong sebagai norma hukum beschikking atau Keputusan Tata Usaha Negara yang terikat secara yuridis baik syarat formal maupun dimensi substansinya. Berdasarkan ketentuan pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Setiap IUP memenuhi unsur sebagai berikut:
a. suatu penetapan tertulis
b. dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
c. berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara
d. berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
e. bersifat konkret, individual, dan final,
f. menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata;

Uraian unsur tersebut dapat dipilah dalam dua aspek yakni, pertama, aspek formil yaitu dibuat oleh badan atau Pejabat yang berwenang serta berkesesuaian prosedur sesuai perundang-undangan serta kedua, aspek materil yakni menimbulkan dampak hukum kepada orang atau badan hukum perdata serta berisikan norma yang sesuai perundang-undangan dengan sifat individual,final dan konkrit.

Setiap Keputusan tata usaha negara akan dianggap terus berlaku sepanjang belum diubah atau dibatalkan oleh badan atau pejabat yang berwenang (baik yang membentuk ataupun atasan pejabat pembuat) maupun putusan pengadilan.

Rezim ini berkenaan secara tidak langsung dengan kontekstualisasi berkahirnya suatu Keputusan tata usaha negara. Dalam rumusan pasal 68 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan dijelaskan bahwa:
Keputusan berakhir apabila:
a. habis masa berlakunya; yang menetapkan
b. dicabut oleh Pejabat Pemerintahan yang berwenang;
c. dibatalkan oleh pejabat yang berwenang atau berdasarkan putusan Pengadilan; atau
diatur dalam ketentuan peraturan perundang undangan.
Dengan demikian, meskipun aturan dasar pembentukan IUP tersebut berlandaskan pada Peraturan Daerah Kabupaten Konawe Kepulauan Nomor 2 Tahun 2021 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Konawe Kepulauan Tahun 2021-2041 yang secara singkronisatif merujuk pada Undang No. 27 Tahun 2007 jo. UU No. 1 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat khususnya berkenaan dengan tafsir pasal Pasal 23 ayat (2) dan Pasal 35 huruf k Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, namun untuk mengkahiri keberlakuan IUP tersebut, mekanismenya tetap harus mengukuti prosedur berkahirnya suatu Keputusan tata usaha negara, yakni yang paling memungkinkan adalah dicabut oleh pejabat yang berwenang atau dibatalkan oleh pejabat yang berwenang atau berdasarkan putusan pengadilan, dalam hal ini Pengadilan Tata Usaha Negara. Olehkarena itu, meskipun bertalian secara materil, Upaya hukum lebih lanjut perlu ditempuh untuk menguji keabsahan serta keberlakuan IUP aquo.

Berdasarkan uraian diatas, dapat ditarik beberapa konklusi sebagai berikut:

a. Dalam hal memaknai putusan Mahkamah Konstitusi NOMOR: 35/PUU-XXI/2023, khususnya mengenai tafsir terhadap pasal 23 ayat (2) dan Pasal 35 huruf k sejatinya tidak berhenti pada jenis putusan yang menyatakan permohonan pemohon ditolak untuk seluruhnya. Putusan aquo sebenarnya mendeskripsikan keengganan Mahkamah Konstitusi untuk memperluas tafsir terhadap pasal-pasal tersebut yang dalam pertimbangan dan yurisprudensi Mahkamah Konstitusi dalam beberapa putusan lainnya telah diuraikan secara jelas. Dalam konsep ini, berlakulah prinsip interpretatio cesat in claris, sesuatu yang telah jelas (dalam tataran tafsir terbatas baik dalam rumusan norma hukum maupun dalam konteks putusan kekuasaan yudikatif) tidak perlu ditafsirkan lebih lanjut. Hal ini demi menjaga kemurnian muatan pengaturan suatu peraturan perundang-undangan. In casu, frasa “prioritas” pada pasal 23 ayat (2) Undang-Undang nomor 27 Tahun 2007 berikut perubahannya melalui Undang-Undang No. 1 Tahun 2014 tentang Perubahan UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil tidak melimitasi kemungkinan bentuk pemanfaatan lain meskipun ada pengarus-utamaan bentuk pemanfaatan sebagaimana diatur pada pasal aquo.

Sedangkan pasal 35 huruf k bermakna pembolehan bersyarat selama ketentuan yang termuat dalam pasal aquo terpenuhi secara berkesinambungan sesuai dengan prinsip suistainable devompment dan tidak menimbulkan abnormal dangerous activity yang dapat mengancam keberlangsungan seluruh makhluk hidup diatasnya baik flora, fauna, manusia serta stabilitas kehidupan sosial Masyarakat sesuai konsiderasi filosofis dan sosiologis Undang-Undang nomor 27 Tahun 2007 berikut perubahannya melalui Undang-Undang No. 1 Tahun 2014 tentang Perubahan UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
b. Meskipun kejelasan tafsir pasal 23 ayat (2) jo pasal 35 huruf k Undang-Undang nomor 27 Tahun 2007 berikut perubahannya melalui Undang-Undang No. 1 Tahun 2014 tentang Perubahan UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil secara konsisten dipertegas melalui Putusan Mahkamah Agung Nomor 57 P/HUM/2022 in casu terkai Peraturan Daerah Kabupaten Konawe Kepulauan Nomor 2 Tahun 2021 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Konawe Kepulauan Tahun 2021-2041, Namun untuk menindaklanjuti konteks tersebut, IUP harus diuji dengan mekanisme pengujian Keputusan Tata Usaha Negara sesuai dengan karakter IUP sebagai beschikking dan peraturan perundang-undangan.

Dengan demikian, Putusan Mahkamah Konstitusi NOMOR: 35/PUU-XXI/2023 tidak selanjutnya dapat dijadikan dasar untuk melanjutkan kegiatan pertambangan in casu atau dalam kata lain, Tafsir Putusan Mahkamah Agung Nomor 57 P/HUM/2022 yang selanjutnya dijadikan dasar atas legality Peraturan Daerah Kabupaten Konawe Kepulauan Nomor 2 Tahun 2021 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Konawe Kepulauan Tahun 2021-2041 dan kemudian mendasari gugatan atas IUP PT.GKP. (***)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *