Ajang Pilkada (Tertutup) 2024  Nir Mandat (Judi Coblos)  bukanlah Jalan Perubahan Daerah-Negara

  • Whatsapp
Ajang Pilkada (Tertutup) 2024  Nir Mandat (Judi Coblos)  bukanlah Jalan Perubahan Daerah-Negara

Oleh: Tryas Munarsyah

(Sekjend Pemuda Peduli Indonesia)

Bacaan Lainnya

ANOATIMES.COM – Pemilu sebagaimana diartikan Pasal 1 angka 1 UU 7/2017 adalah sarana kedaulatan rakyat untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tak terkecuali Kepala Daerah yang diselenggarakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dalam beberapa waktu kedepan kita akan menghadapi hegemoni  hari pencoblosan atau pemungutan suara Pemilukada 2024 tepatnya pada tanggal 27 November 2024 untuk memilih pemimpin daerah dalam berbagai wilayah di Indonesia.

Kini proses tahapan pemilu baik dari perencanaan program dan anggaran serta penyusunan peraturan pelaksanaan penyelenggaraan pemilu, pemutakhiran data pemilih dan penyusunan daftar pemilih, pendaftaran dan verifikasi peserta pemilu, penetapan peserta pemilu, masa kampanye pemilu, hingga distribusi kotak suara sudah di lakukan. Rakyat tinggal menunggu proses Pemilu itu dilaksanakan dengan janji-janji yang disampaikan yang probabilty realisasinya masih dipertanyakan

Meski demikian bagaimanapun proses Pemilu itu dilakukan, calon seperti apapun yang ikut menjadi peserta, serta ribuan kali pun Pemilu itu diulang, maka timbul pertanyaan yang perlu kita jawab bersama.
Akankah perubahan kesejahteraan rakyat  itu terwujud? Akankah pertumbuhan kesejahteraan rakyat di berbagai daerah yg  di ukur menggunakan IPM bisa terwujud? Ataukah apakah mungkin Gini Ratio sosial masyarakat kita berkurang?  Bahkan apakah Visi dan Misi calon kepala daerah yang bertarung itu dapat direalisasikan dengan Plot APBD yg ada, Ataukah Hanya Modal Janji & Ide Absurd semata?

Hal itu menjadi pertanyaan karena pada realitanya pelaksanaan Pemilu tidak memberikan dampak yang signifikan terhadap semua perubahan tersebut. Misal  Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), pada Maret 2023 ada sekitar 25,9 juta penduduk miskin di Indonesia atau berkisar 9,28% dari total penduduk Indonesia 278,8 juta jiwa dengan penghasilan Rp550.458 per orang per bulan dalam rumah tangga.

Berdasarkan data dari BPS, jika dirincikan lebih lanjut, dari daerah perkotaan, maka provinsi dengan jumlah penduduk miskin paling banyak per Maret 2024 berada di Jawa Barat, dengan total mencapai 2.921.520 jiwa. Sedangkan dari persentasenya, Papua Pegunungan menjadi provinsi dengan penduduk miskin terbanyak di perkotaan yakni mencapai 16,56%. Sementara dari jumlah penduduk miskin di pedesaan, Jawa Timur menjadi yang paling banyak per Maret 2024 yakni mencapai 2.399.990 jiwa. Sedangkan dari persentasenya, Papua Tengah menjadi provinsi dengan penduduk miskin terbanyak di pedesaan yakni mencapai 37,98%. Adapun secara total, Jawa Timur menduduki posisi pertama dengan jumlah penduduk miskin terbanyak yakni mencapai 3.982.690 jiwa.  Sedangkan dari persentase total, Papua Pegunungan menduduki posisi pertama dengan persentase penduduk miskin terbanyak yakni mencapai 32,97%.

Selain itu dalam tolak ukur ratio gini, badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan rasio gini Indonesia pada Maret 2024 sebesar 0,379. Perolehan tersebut sedikit lebih baik karena berkurang 0,009 poin dari Maret 2022 yang masih di angka 0,388. Capaian ini juga menjadi yang terendah sejak satu dekade terakhir. Meski demikian Indonesia masih menjadi peringkat ke enam dengan ratio gini terbesar.

Apabila ditinjau menurut wilayah, rasio gini perkotaan lebih tinggi dibandingkan pedesaan. Rasio gini perkotaan pada Maret 2024 tercatat sebesar 0,399, sedangkan pedesaan sebesar 0,306. Hal ini juga terjadi di sebagian besar provinsi. Hanya Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Utara, Gorontalo, dan provinsi di Pulau Papua saja yang rasio gini pedesaanya lebih tinggi.

Sementara itu, jajaran provinsi dengan indeks gini tertinggi tidak jauh berbeda dari tahun sebelumnya. Peringkat teratas masih dipegang oleh DI Yogyakarta yang rasio gininya mencapai 0,435. DKI Jakarta juga tetap bertengger di urutan kedua dengan skor 0,423. Posisi ketiga ditempati Jawa Barat dengan skor 0,421, lalu disusul Gorontalo yang memperoleh skor 0,414

Keadaan ini menjadi bukti bahwa dari sekian proses Pemilu yang di lalui di berbagai daerah, maka perubahan yang dinginkan tidak terjadi secara maksimal. Bahkan sangat jauh dengan ada apa yang dicita-citakan oleh  salah satu pendiri bangsa yakni  Bung Karno. Beliau  mengatakan di dalam Indonesia Merdeka  “Itulah tidak ada kemiskinan bagi rakyat kita”.  Tak terkecuali dengan nilai utang pemerintah yang  kian melonjak menembus angka 8.041 T per November 2023.Dan tentu masih banyak problem bangsa dan negara  lainnya yang tidak terselesaikan dari hegemoni Pemilu.

Bahkan mari sekilas renungi dengan hati nurani kita pribadi, akan pertanyaan” itu. Dan juga pertanyaan lainnya yang membawa kegelisahan dihati, melihat keadaan masyarakat saat ini. Lihatlah keluarga dekat kita mencari makan hingga tak kenal waktu, kerja 24 jam tapi upah yg diperoleh tidak setara. Pergi ke Rumah Sakit tapi kartu sakti kita tak terpakai, ingin usaha tapi modal kita pas-pasan dan harus menggadai barang-barang, keluarga yg harus putus sekolah karena ingin mendorong gerobak saat teriknya matahari, memulung ditengah jalan hingga menjual diri sendiri demi memenuhi kebutuhannya. Tentunya realita-realita ini sering menghampiri hidup dan kehidupan kita. Dan masih banyak realita kehidupan lainnya yang masih bisa kita jumpai.

Lantas akankah Proses Pemilu hari ini menjawab semua pertanyaan dari problem masyarakat diberbagai daerah hari ini? Kemiskinan, Pengangguran, Ketimpangan Sosial dan lainnya. Jika tidak, apa yang kemudian jadi harapan? Jika iya, apa garansi yang bisa menjadi pegangan? Bahkan jadi tanda tanya besar adalah apakah proses Pemilu hari ini telah sesuai dengan amanah Pancasila ?

Terlebih lagi proses Pemilu hari ini memiliki beberapa kelemahan yakni:
1. Privilege parpol sebagai wujud berkumpul berserikat yang berwenang mengelola anggaran melalui perwakilannya yang terpilih. Padahal, negara menjamin kemerdekaan segala bentuk berserikat dan berkumpul, termasuk Ormas, Perkumpulan Pemuda, LSM dll. Selain itu, pemilih parpol dan parpol hanya terasa ikatannya menjelang perhelatan pemilihan eksekutif dan legislatif.

2. Mekanisme Pemilu yang menyulap kedaulatan rakyat menjadi suara saat pencoblosan. Mekanisme ini menghilangkan tanggung jawab pemerintah yang terpilih, baik eksekutif maupun legislatif, secara langsung terhadap konstituen atau rakyat yang memilih mereka. Akibatnya, pemerintah dengan mudahnya mengelak jika ada rakyat yang tidak mendapatkan manfaat dari program-program pemerintah. Padahal, jika mengacu pada tujuan bernegara, tugas pemerintah adalah wajib memfasilitasi segenap (by name by address) bangsa terutama dalam aspek keadilan terhadap akses hukum, kesehatan, ekonomi dan pendidikan.

3. Tidak adil dan imbangnya antara proses (in) dan output dari proses pelaksanaan Pemilu (Pincang). Di mana saat proses pemilihan kita memilih by Name by Adress melalui KTP yang kita miliki. Akan tetapi output pemilihan melalui kebijakan yang dikeluarkan adalah umum, bukan by name by address pula.Sehingga jangan heran sebagian diantaranya baik yang memilihnya terlebih lagi yang berjuang atas dia tidak menikmati hasilnya.

4. Biaya mendirikan dan menjalankan parpol yang sangat besar karena menjangkau hingga wilayah desa/ kelurahan. Bayangkan saja, jumlah desa/ kelurahan di Indonesia mencapai 78.000-an. Situasi ini yang menumbuh suburkan campur tangan oligarki yang notabene memiliki resource/ kapital. Sulit sekali untuk mencalonkan wakil rakyat (eksekutif maupun legislatif) tanpa adanya perjanjian di balik layar dengan oligarki selaku pendukung utama. Alhasil, pemerintah yang terpilih rentan bahkan sebagian besar akan tersandera oleh kepentingan oligarki. Dalam perspektif bisnis, hal demikian adalah lumrah, no free luch. Namun, dalam algoritma pemerintahan hal tersebut justru bertolak belakang karena spiritnya adalah pelayanan kepada semua (services for all). Di sisi lain, harapan terhadap hadirnya oligarki yang nasionalis juga terkesan utopia. Mengingat, karakter dunia usaha yang berbasis persaingan selalu menghasilkan winner-looser, tidak kompatibel dengan semangat nasionalisme (kolektivisme/ kekeluargaan). Dalam iklim persaingan dunia usaha, kerja sama (kooperasi) dilakukan dalam rangka survival bukan sebagai landasan berekonomi/ berusaha.

5. Kewenangan legislatif dan eksekutif sebatas menentukan dan mengelola fiskal yang tunduk pada moneter. Selain jumlahnya yg terbatas (anggaran), luaran kebijakan fiskal juga berupa program, alih-alih by name by address. Akibatnya, pihak yang dapat mengakses anggaran/ fiskal dalam jumlah yang signifikan (proyek-proyek besar seperti infrastruktur) jumlahnya terbatas, yaitu sejumlah kecil rakyat yang memiliki badan usaha, misalnya PT atau CV. Situasi ini yang melahirkan oligarki ekonomi, kapital (kekayaan) terkonsentrasi ke sejumlah kecil rakyat. Kalaupun ada program yang sifatnya by name by address bentuknya adalah jaminan sosial seperti bansos, bantuan pendidikan & asuransi kesehatan.

6. Proses Pemilihan Umum saat ini adalah Pemilihan Kosong. Dalam artian bahwa kita hanya datang mencoblos, kemudian pulang. Harapan perubahan yang kita inginkan diproses Pemilu tidak bisa terfasilitasi saat proses pencoblosan. Hingga kemudian harapan itu hilang dan hanya menjadi kenangan sehingga ini melanggar tujuan Pemilu itu sendiri yakni terwujudnya “Kedaulatan dan Kesejahteraan Rakyat” tertera dalam Pembukaan UUD 1945. Disini pun kedaulatan rakyat yang merupakan dasar pemilu di adakan sesuai pasal 1 Ayat 2 UUD 1945 telah hilang bahkan terampas.

7. Pada proses Pemilu pun sesuai poin di atas tak ada daya hukum yang mengikat kepada calon harapan yang kita pilih menjalankan amanah yang kita berikan sehingga dapat dijamin bahwa 100% para peserta pemilu pasti ingkar.

8. Makna keterwakilan dalam proses Pemilu baik itu Legislatif dan Eksekutif masih abu-abu. Tidak ada kejelasan keterwakilan atas apa?Wujudnya apa? Dan proses keterwakilannya bagaimana?

9. Saat Proses Pemilu manusia terpecah menjadi beberapa kubu. Terpecahnya kubu-kubu ini mengakibatkan proses itu gagal sehingga timbullah saling serang,cerca,caci maupun makian. Akhir prosesnya terpilihlah satu calon dari beberapa kubu itu. Meski telah ada satu terpilih, tapi perpecahan masih terus berlanjut. Maka terjadilah posisi oposisi dan pemerintahan.

Kondisi-kondisi ketidakadilan pemilu di atas ketika kita selaraskan dengan makna Perjudian yakni “Permainan di mana pemain bertaruh untuk memilih satu pilihan di antara beberapa pilihan di mana hanya satu pilihan saja yang benar dan menjadi pemenang. Pemain yang kalah taruhan akan memberikan taruhannya kepada si pemenang (wikipedia)”, maka kita akan menemukan kesamaan makna pada proses Pemilu yang kini berlangsung. Bahkan Pemilu yang diamini oleh sebagian besar orang lebih tidak manusiawi daripada arti perjudian itu secara umum. Di mana pada proses pemilu, manusia beserta taruhan nasibnya yang menjadi arena perjudiannya saat proses itu.

Tentunya masih banyak kekurangan Sistem Pemilu hasil  UUD 1945 Amandemen ke IV dalam setiap jenjang pemilihannya tak terkecuali hasil yang dicapai pasca Proses Pemilihannya. Apakah mampu memberikan kesejahteraan bagi rakyat atau tidak. Bahkan menjadi pertanyaan mendasar adalah, apakah Sistem Pemilihan Umum Tertutup Nir Mandat yang merenggut Kedaulatan Rakyat menjadi Suara Kosong (JUDI COBLOS) telah sesuai dengan amanah PANCASILA atau TIDAK. Olehnya Revolusi Sistem Tata Negara dalam konteks Pemilu berbasis Pemilu Suara Terbuka  By Name By Adress (BNBA) satu paket pendataan mandat rakyat BNBA, yang berarti rakyat mencatat calon kepala daerah siapa yang menjadi pilihannya serta mandat apa yang kemudian di berikan. Sehingga ketika wakil kepala daerah itu terpilih maka langsung dapat memastikan mandat rakyat BNBA dapat terfasilitasi dan tercapai. Dan bagi rakyat yang pilihan pimpinan daerahnya tidak terpilih maka dapat mengadministrasikan suara dan mandatnya  BNBA ke kepala daerah terpilih untuk dapat di laksanakan. Mandat Rakyat By Name By Address (BNBA) berupa :
1. Tiap Rakyat dijamin alokasi anggaran dari keuangan negara (Otonomi Daerah) sesuai dengan Identitas Formal (KTP)
2. Sedang pelayanan oleh Kekuasan Otonomi daerah sesuai domisili rakyat secara de facto tiap rakyat
3. Otonomi daerah (huruf a) melakukan tagihan pada Otonomi daerah (huruf b) dalam bingkai 2 (dua) kamar fiskal/moneter.

Dalam pelaksanaan mandat rakyat BNBA ini, maka hal tersebut satu paket perubahan sistem moneter berupa:
1. Lembaga Moneter RI adalah Koperasi Indonesia (KI) dengan Uang difungsikan sebagai alat tukar/pengukur nilai kreativitas manusia sesuai Amanah UUD 1945 Bagian Penjelasan Hal Keuangan.
2. Dual Chamber (Dua Pintu) pengelolaan Moneter yang Pertama diselenggarakan oleh KI berbasis Moneter Tanpa Bunga/Bukan Pinjaman /Tanpa Menggunakan SUN/SBN/SBSN ditingkat Negara, dan Kedua diselenggarakan oleh BI berbasis Moneter Berbunga/Pinjaman/Menggunakan SUN/SBN/SBSN/Agunan ditingkat Private (bagi mereka yang menginginkan).
3. Tersedia paket pelunasan Utang rakyat BNBA (pindah sistem/cut off dari BI ke KI) satu paket Revolusi Negara.
4. Sistem Moneter Koperasi Indonesia (KI) mengembalikan Rakyat untuk Hidup dalam Ekonomi yang bernuansa Kekeluargaan/Gotong Royong sesuai amanah UUD 1945 Pasa 33 Ayat 1 serta ajaran Kepercayaan Agama.

So, Apakah Pemilu hari ini benar sebuah  solusi? Ataukah hanya menjadi Judi Coblos Tahunan semata? Ataukah kita butuh Revolusi Sistem Pemilu secara Terbuka dan Berbasis Mandat BNBA?

Pos terkait