Oleh: Yamin Yaddi
(Mahasiswa Program Studi Ilmu Pertanian Pascasarja Universitas Halu Oleo)
Sulawesi Tenggara, sebagai salah satu wilayah potensial dalam sektor peternakan, memiliki keunggulan geografis yang mendukung keberlanjutan industri ini. Kondisi iklim tropis, ketersediaan lahan, dan keragaman pakan ternak lokal menjadi aset yang sangat berharga.
Namun, di balik potensi besar tersebut, ancaman kesehatan hewan dalam bentuk emerging dan re-emerging diseases menjadi tantangan yang tidak bisa diabaikan.
Emerging diseases mengacu pada penyakit baru yang belum pernah ditemukan sebelumnya atau baru muncul di suatu wilayah, sedangkan re-emerging diseases adalah penyakit yang pernah terkendali tetapi kembali muncul dengan peningkatan prevalensi.
Di Sulawesi Tenggara, ancaman ini dapat berdampak langsung pada kesehatan ternak, keberlanjutan ekonomi peternakan, hingga kesehatan masyarakat secara umum.
Salah satu faktor utama yang memengaruhi kemunculan penyakit ini adalah perubahan lingkungan. Penebangan hutan, alih fungsi lahan, dan eksplorasi sumber daya alam mengubah ekosistem secara drastis.
Perubahan ini menciptakan interaksi baru antara manusia, hewan domestik, dan satwa liar yang sering menjadi reservoir penyakit.
Di Sulawesi Tenggara, ekspansi perkebunan dan tambang sering kali berbenturan dengan kawasan peternakan tradisional, meningkatkan risiko penularan zoonosis.
Selain itu, globalisasi dan mobilitas tinggi menjadi katalis utama penyebaran penyakit. Aktivitas perdagangan hewan lintas wilayah, baik untuk tujuan ekonomi maupun tradisional, membuka pintu masuk bagi patogen baru.
Di Sulawesi Tenggara, misalnya, perdagangan ternak dari luar daerah sering kali tidak disertai dengan prosedur karantina yang memadai, sehingga meningkatkan risiko masuknya penyakit menular strategis seperti avian influenza, brucellosis, African swine fever, Lumpy Skin Disease, Jembrana Disease hingga Penyakit Mulut dan Kuku (PMK).
Kurangnya infrastruktur kesehatan hewan juga menjadi masalah krusial. Saat ini, jumlah tenaga medis hewan dan fasilitas laboratorium diagnostik di Sulawesi Tenggara masih sangat terbatas. Hal ini menyebabkan deteksi dini terhadap wabah penyakit sering terlambat.
Pola peternakan tradisional yang masih dominan juga mempersulit penerapan standar biosekuriti. Di banyak desa, ternak sering digembalakan secara bebas tanpa pengawasan yang memadai.
Praktik ini meningkatkan risiko kontak dengan satwa liar dan penyebaran mikroba patogen antarhewan. Padahal, biosekuriti yang baik merupakan garis pertahanan pertama dalam mencegah penyakit.
Untuk mengatasi tantangan ini, pendekatan holistik yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan sangat diperlukan. Pemerintah daerah, akademisi, praktisi peternakan, dan masyarakat harus bersinergi dalam memperkuat sistem kesehatan hewan.
Langkah pertama yang perlu dilakukan adalah peningkatan kapasitas tenaga medis hewan melalui pelatihan dan pengadaan fasilitas diagnostik modern.
Selain itu, penguatan regulasi terkait perdagangan hewan sangat mendesak. Sistem karantina hewan harus diperketat dengan pengawasan yang lebih ketat di pelabuhan dan jalur distribusi ternak.
Hal ini akan mencegah masuknya patogen baru yang berpotensi membahayakan populasi ternak lokal. Peningkatan pendanaan untuk program kesehatan hewan juga perlu menjadi prioritas.
Anggaran yang memadai akan memungkinkan pengadaan vaksin, pelaksanaan surveilans, dan pengembangan program pengendalian penyakit. Tanpa dukungan finansial yang cukup, upaya pencegahan dan penanganan penyakit akan selalu terbatas.