Senja, Jaring, dan Malam Hitam di Pantai Batu Gong

  • Whatsapp
Senja, Jaring, dan Malam Hitam di Pantai Batu Gong

ANOATIMES.COM, KONAWE – Langit mulai menguning saat Jumdin dan delapan anggota Komunitas Pecinta Senja dari Kendari tiba di Pantai Batu Gong. Angin laut menerpa wajah mereka, membawa aroma garam yang kental. Perjalanan darat yang mereka tempuh selama hampir satu jam dari pusat kota terbayar lunas oleh suasana pantai yang tenang, alami, dan masih jarang dijamah keramaian.

Tak seperti pantai-pantai berpasir putih khas Sulawesi Tenggara, Batu Gong memiliki karakter unik: pasir hitamnya terhampar luas, lembut, dan mencolok, menyerupai lanskap pantai selatan Yogyakarta. Kontras dengan buih putih ombak yang sesekali menyapu garis pantai, hamparan pasir gelap ini menciptakan nuansa tenang sekaligus dramatis.

Bacaan Lainnya

Akses ke Batu Gong kini cukup baik. Jalan utama poros Kendari–Toli-Toli sudah beraspal hingga Desa Lalonggasumeeto, lokasi pantai ini berada. Namun, untuk mencapai bibir pantai, pengunjung masih harus menempuh jalan berbatu sekitar 500 meter. Tidak ada angkutan umum yang melayani jalur ini, sehingga kendaraan pribadi atau motor sewaan menjadi pilihan utama. Tidak ada tiket masuk resmi, dan fasilitas umum seperti toilet atau warung makan belum tersedia. Hal inilah yang justru dicari oleh komunitas seperti yang dipimpin Jumdin: kebebasan dari keramaian dan keaslian suasana.

Senja, Jaring, dan Malam Hitam di Pantai Batu Gong

Sore itu, mereka mendirikan tiga tenda dome di pinggiran semak dan mulai menyalakan api unggun seadanya. Sambil duduk melingkar, mereka menikmati bekal yang dibawa sendiri dari Kendari. Namun malam itu tidak hanya akan diisi dengan bercengkerama. Dua warga lokal, Pak Amir dan anaknya La Ode Dimas, datang menghampiri dan mengajak mereka bergabung dalam kegiatan khas warga pesisir: menyuluh ikan dan diskusi lingkungan ringan.

Menjelang pukul delapan malam, komunitas bersama warga mulai menyusuri sisi timur pantai yang lebih dangkal. Dengan senter kepala dan jaring kecil, mereka bergerak perlahan menyusuri air. Cahaya remang dari lampu menari di permukaan laut, sesekali menyinari bayangan ikan yang bergerak cepat. “Kalau begini caranya, kita tidak hanya bisa makan malam dari hasil sendiri, tapi juga belajar cara hidup orang sini,” ujar Jumdin, yang terlihat antusias meski harus berkali-kali masuk ke air hingga lutut.

Pak Amir, yang telah tinggal di kawasan itu selama lebih dari 20 tahun, menjelaskan bahwa tradisi menyuluh ikan sudah dilakukan sejak ia masih kecil. “Kalau malam terang begini, biasanya banyak ikan kecil datang dekat pantai. Ini warisan dari orang tua kami dulu. Tapi sekarang, ikannya makin jarang karena laut kita banyak sampah,” ujarnya sambil menunjukkan jaring kecil yang mulai terisi belanak dan teri.

Malam itu, selain menyuluh, mereka juga melakukan penyuluhan ringan soal ekosistem pesisir. Diskusi berlangsung santai, sambil duduk di atas batu karang yang hangat sisa panas siang. La Ode Dimas menyampaikan bahwa abrasi sudah mulai menggerus sebagian garis pantai. Ia dan pemuda desa lain telah menanam beberapa bibit cemara laut, meski belum ada bantuan dari luar. “Kami tidak bisa menunggu orang kota datang bantu. Jadi kita mulai dari apa yang kita punya,” katanya.

Sekitar pukul sepuluh malam, hasil tangkapan cukup memuaskan: dua baronang kecil, beberapa udang, dan cukup banyak ikan teri. Semua dikumpulkan untuk dibakar di atas bara api di dekat tenda. Malam itu, aroma ikan panggang dan kopi hitam menyatu dengan bau laut yang tajam. Obrolan ringan tentang hidup, alam, dan kenangan pun mengalir tanpa perlu disusun rapi.

Saat sebagian anggota komunitas merebahkan badan di atas tikar sambil menatap langit penuh bintang, yang lain masih membersihkan area sekitar tenda dari sampah. Komitmen menjaga kebersihan menjadi prinsip utama mereka. “Kami datang hanya semalam, tapi kami ingin tempat ini tetap seperti ini seratus tahun lagi,” ujar salah satu anggota, Ita, sambil mengumpulkan sisa plastik bekas makanan.

Menjelang tengah malam, tenda mulai senyap. Ombak terus memukul pantai dalam ritme yang lembut dan konstan. Di kejauhan, lampu-lampu perahu nelayan terlihat seperti bintang yang merunduk ke laut. Batu Gong kembali sunyi, seperti ingin menyimpan cerita malam itu dalam gulungan pasir hitamnya.

Pagi hari, komunitas berkemas sebelum matahari meninggi. Mereka berpamitan pada Pak Amir dan keluarganya, meninggalkan secarik tulisan kecil di papan kayu: “Terima kasih untuk malam yang tak terlupa. Kami akan kembali bukan sebagai tamu, tapi sebagai saudara.”(ADV)

Pos terkait