Opini : Analisis Kebijakan Publik: Pertemuan Nalar Publik, Nalar Konstitusi, dan Nalar Teknorat

  • Whatsapp
Opini : Analisis Kebijakan Publik: Pertemuan Nalar Publik, Nalar Konstitusi, dan Nalar Teknorat

Oleh Yusuf Tamburaka 

Pengamat Kebijakan Publik

Bacaan Lainnya

 

Analisis Kebijakan Publik: Pertemuan Nalar Publik, Nalar Konstitusi, dan Nalar Teknora

Kebijakan publik tidak pernah lahir di ruang hampa. Ia selalu merupakan hasil pertemuan antara nalar publik (public reasoning), nalar konstitusi (constitutional reasoning), dan nalar teknorat (technocratic reasoning). Ketiganya saling memengaruhi serta menentukan arah dan kualitas kebijakan, apakah kebijakan itu adil, demokratis, dan efektif secara teknis.

Dalam konteks Indonesia, terutama di era meta-AI dan transformasi digital, sinergi ketiga nalar ini menjadi semakin penting. Kebijakan publik tidak boleh sekadar rasional secara teknis, tetapi juga harus berakar pada nilai-nilai konstitusional dan mendapat legitimasi sosial di ruang publik.

Nalar publik berpijak pada kepentingan bersama, dialog sosial, dan nilai keadilan sosial. Ia menuntut partisipasi masyarakat, transparansi pemerintah, serta akuntabilitas moral kebijakan di hadapan publik.

Dalam praktiknya, nalar publik menekankan beberapa hal pokok:
• Partisipasi deliberatif dalam perumusan kebijakan.
• Keterbukaan data dan akses informasi publik.
• Keadilan sosial dan inklusivitas, agar kebijakan tidak bias terhadap kelompok tertentu.

Contoh aktual dapat dilihat dalam proses penyusunan kebijakan pembangunan asrama mahasiswa dan bantuan biaya pendidikan, di mana pelibatan komunitas dosen, mahasiswa, dan masyarakat sipil menjadi penting agar kebijakan yang dihasilkan sesuai dengan kebutuhan riil mahasiswa.

Nalar konstitusi berfungsi sebagai pengawasan normatif atas seluruh kebijakan publik. Ia memastikan bahwa setiap keputusan pemerintah tidak melanggar prinsip dasar negara: kedaulatan rakyat, hak asasi manusia, keadilan sosial, dan supremasi hukum.

Dalam praktiknya, nalar konstitusi berperan untuk:
• Menjaga agar kebijakan selaras dengan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945.
• Melindungi hak-hak warga dari potensi penyalahgunaan kekuasaan atau teknologi.
• Menjadi dasar legitimasi moral dan hukum bagi tindakan pemerintah.

Sebagai contoh, kebijakan investasi sumber daya manusia melalui pembangunan asrama mahasiswa atau bantuan biaya pendidikan harus tunduk pada prinsip privasi, keadilan, dan non-diskriminasi, sebagaimana diatur dalam konstitusi.

Nalar teknorat tumbuh dari tradisi administrasi modern yang menekankan efisiensi, rasionalitas, dan bukti empiris (evidence-based policy). Para ahli, analis data, dan birokrat profesional menjadi aktor kunci dalam merancang kebijakan berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi.

Ciri utama nalar teknorat antara lain:
• Menggunakan data, riset, dan model analitik dalam perumusan kebijakan.
• Berorientasi pada hasil (outcome-based governance).
• Mendorong digitalisasi dan otomasi untuk meningkatkan kinerja birokrasi.

Sebagai contoh, dalam penganggaran pembangunan asrama mahasiswa dan program bantuan pendidikan, pendekatan teknokratik membantu memastikan efisiensi dan akurasi. Namun, tanpa kendali nalar publik dan nalar konstitusi, kebijakan semacam ini berisiko menjadi dingin, elitis, dan berjarak dengan masyarakat.

Ketiga nalar ini publik, konstitusi, dan teknorat, sering kali berjalan tidak seirama.
• Nalar teknorat menekankan efisiensi dan hasil cepat.
• Nalar konstitusi mengingatkan pada batas nilai dan hukum.
• Nalar publik menuntut ruang partisipasi dan keadilan sosial.

Ketegangan di antara ketiganya justru sehat, karena menjaga agar kebijakan publik tidak terjebak dalam ekstremitas satu sisi:
• Jika hanya teknokratik, kebijakan bisa menjadi elitis.
• Jika hanya berpijak pada publik, bisa menjadi populis tanpa dasar ilmiah.
• Jika hanya konstitusional, bisa stagnan tanpa inovasi.

Karena itu, keseimbangan ketiga nalar menjadi kunci untuk menghasilkan kebijakan yang berilmu, beretika, dan berpihak kepada rakyat.

Di tengah transformasi digital dan perkembangan meta-AI, keseimbangan antara nalar publik, konstitusi, dan teknorat menjadi semakin krusial.
Kebijakan publik masa depan harus cerdas secara teknologis, adil secara sosial, dan kokoh secara konstitusional.
Hanya dengan sinergi ketiga nalar inilah, Indonesia dapat melangkah menuju tata kelola pemerintahan yang modern, demokratis, dan berkeadaban.

Pos terkait