Mendaki Padamarang, Menembus Awan Bumi Mekongga

  • Whatsapp
Mendaki Padamarang, Menembus Awan Bumi Mekongga
Ketgam : La Ode Abdul Salam bersama empat rekannya saat sampi di Puncak Gunung Padamarang Kabupaten Kolaka. Foto : Istimewa

ANOATIMES. COM, KOLAKA–  Dari kejauhan, Pulau Padamarang tampak seperti benteng hijau di tengah laut Kolaka. Tak banyak yang tahu, di balik pesona pasir putih dan cemara laut yang membingkai pantainya, tersembunyi jalur mendaki yang membawa siapa saja menembus kabut hingga mencapai langit wilayah Kabupten Kolaka atau yang dikenal dengan Bumi Menkongga. Gunung Padamarang, meski hanya mencapai sekitar 650 meter di atas permukaan laut, menyuguhkan panorama yang menggetarkan. Saat matahari terbit, dua bukit kecil di sekitar puncak menyatu dalam gradasi cahaya, menciptakan panorama hati yang sulit dilukiskan.

Tertarik oleh kisah-kisah itu, La Ode Abdul Salam dan empat orang rekannya memutuskan menjawab undangan alam ini. Mereka bukan pendaki profesional atau bagian dari komunitas pecinta alam—hanya sekelompok pemuda biasa dari Kendari yang ingin menantang diri dan merasakan pengalaman berbeda dari rutinitas kota.

Bacaan Lainnya

Perjalanan dimulai dini hari dari Kendari. Dengan kendaraan roda empat, mereka menyusuri jalan poros menuju Kolaka yang memakan waktu kurang lebih empat jam. Setibanya di Pelabuhan Latambaga, mereka menyewa perahu nelayan dengan biaya sekitar satu hingga satu setengah juta rupiah pulang-pergi, lalu menyeberangi Teluk Bone menuju Pulau Padamarang.

Mendaki Padamarang, Menembus Awan Bumi Mekongga

Perjalanan laut ditempuh sekitar satu jam. Ombak tenang, angin laut lembut, dan langit bersih memberi semangat tersendiri. Saat mencapai pantai Padamarang, pasir putih bersih dan jajaran pohon cemara laut menyambut mereka dengan tenang. Malam pertama mereka habiskan di tepi pantai—mendirikan tenda, memasak sederhana, lalu menikmati kopi hangat sambil memandang langit yang penuh bintang.

Pendakian dimulai pukul tiga pagi, dalam udara dingin dan remang-remang bulan. Jalur pendakian di Gunung Padamarang belum tertata. Tanah berpasir licin, akar pohon mencuat, dan bebatuan kecil menghiasi setiap langkah. Namun suasana hutan yang masih sangat alami menjadi daya tarik tersendiri. Vegetasi yang ditemui antara lain anggrek liar, pandan, waru laut, hingga pohon santigi.

Setelah dua hingga tiga jam mendaki, mereka tiba di puncak saat matahari mulai menembus cakrawala. Kabut tipis menyelimuti lereng, dan dari ketinggian, laut biru terlihat di segala arah. Dua bukit kecil di sisi timur tampak seperti gundukan bahu raksasa yang memeluk fajar. Semua lelah hilang. “Capeknya langsung hilang,” ucap Arif, salah satu rekan La Ode, sambil memotret siluet rekannya di tengah kabut.

Puncak Gunung Padamarang tidak memiliki fasilitas permanen. Hanya hamparan tanah lapang, angin pagi, dan aroma hutan. Di sana mereka sarapan roti dan teh hangat. La Ode, yang selalu membawa kantong sampah sendiri, mengingatkan agar semua sampah dibawa turun. Prinsip “leave no trace” menjadi komitmen bersama dalam perjalanan ini.

Turun gunung dilakukan menjelang pukul delapan pagi. Jalur licin memaksa mereka lebih berhati-hati. Sampai di pantai, mereka beristirahat sambil menyelam di perairan dangkal. Tanpa peralatan selam khusus, hanya masker dan snorkel, mereka menikmati keindahan bawah laut yang masih sehat. Terumbu karang berwarna cerah, ikan hias, dan lamun laut menjadikan pengalaman semakin lengkap.

Mendaki Padamarang, Menembus Awan Bumi Mekongga

 

Di sela istirahat, mereka berbincang dengan Pak Kusa, seorang warga lokal yang sering menyewakan perahu untuk wisatawan. Pak Kusa bercerita bahwa Pulau Padamarang sejak 2003 telah ditetapkan sebagai kawasan taman wisata alam laut berdasarkan SK Menteri Kehutanan. Luas kawasan konservasi mencapai sekitar 36.000 hektare. “Di sini banyak hewan langka, seperti burung gosong dan biawak. Kalau malam, suara burungnya macam orkestra,” katanya sambil tertawa.

Pak Kusa juga menyoroti kondisi fasilitas yang masih sangat minim. Tidak ada pelabuhan, tidak ada papan petunjuk, bahkan sinyal telepon pun nyaris tak ada. “Kalau ada yang cedera, susah cari bantuan. Harapannya sih ada perhatian pemerintah, tapi jangan sampai merusak alamnya,” ujarnya.

Menurut warga lain, Ibu Risna, Gunung Padamarang dulu sering dikunjungi nelayan sebagai tempat singgah saat cuaca buruk. “Dulu orang Bajo dan Bugis sering istirahat di sana, karena ada mata air kecil di dekat kaki gunung,” katanya. Bahkan hingga kini, beberapa bagian pulau masih menyimpan sumber air tawar alami.

Menurut data Dinas Kehutanan Sultra dan SK Gubernur Sultra No. 310 Tahun 2022, Padamarang masuk dalam tujuh destinasi prioritas pengembangan wisata. Namun hingga kini, pembangunan fasilitas wisata masih terbatas pada rencana. Warga berharap, jika nanti dikembangkan, pendekatan konservatif tetap diutamakan agar daya tarik utama pulau ini—keaslian alam—tetap terjaga.

Di puncak gunung, Salam sempat mencatat koordinat GPS dan memetakan jalur untuk dokumentasi pribadi. Ia yakin, jika dikelola baik dan bertanggung jawab, Gunung Padamarang bisa menjadi destinasi favorit untuk wisata petualangan. “Jarang sekali ada tempat di mana kita bisa mendaki gunung dan menyelam di laut dalam satu hari yang sama. Itu yang bikin Padamarang beda,” katanya.

Menjelang siang, mereka mengemasi perlengkapan, membersihkan lokasi, dan kembali menyeberang ke Kolaka. Sepanjang perjalanan pulang, tak banyak yang bicara. Masing-masing larut dalam pikiran, mengendapkan kesan dan pelajaran dari perjalanan.

La Ode Salam menyimpulkan pengalamannya dengan satu kalimat, “Alam punya daya magis. Tapi menjaga itu jauh lebih penting daripada mencapainya,” tutupnya. (adv)

Pos terkait