ANOATIMES.COM, KONSEL – Kabupaten Konawe Selatan memiliki banyak tempat indah yang belum sepenuhnya tersentuh wisata massal. Salah satunya adalah Puncak Popalia, yang terletak di Desa Ranowila, Kecamatan Wolasi. Kawasan perbukitan ini mulai dikenal sebagai tujuan pendakian dan berkemah oleh kalangan muda, terutama mereka yang ingin melepaskan diri sejenak dari kebisingan kota dan mencari pengalaman menyatu dengan alam.
Adalah Al Fath, seorang siswa kelas tiga SMA Negeri 4 Kendari, yang baru-baru ini memilih menghabiskan akhir pekannya dengan cara berbeda. Ia mendaki sendirian menuju Puncak Popalia. Perjalanan dimulai dari pusat Kota Kendari menggunakan angkutan umum hingga ke wilayah Wolasi. Dari sana, ia menyusuri jalan kampung dan akhirnya bertemu Yusran, salah satu warga setempat yang sudah sering membantu para pendaki sebagai pemandu lokal.
Menurut Yusran, titik awal pendakian ditandai dengan sebuah pohon beringin besar. Dari sanalah petualangan yang sesungguhnya dimulai. Jalur menuju Popalia tidak bisa dianggap enteng. Trek tanah merah yang licin saat hujan, tanjakan terjal seperti punggung kuda, dan lereng sempit dengan jurang di sisi kiri dan kanan menuntut fokus dan kehati-hatian. Beberapa pendaki bahkan menyebut tingkat kemiringan beberapa bagian jalur mencapai lebih dari 100 derajat. Namun justru itulah daya tariknya—Popalia tidak datang dengan mudah, dan karena itu setiap langkah menuju puncak terasa bermakna.
Perjalanan Al Fath memakan waktu sekitar dua jam. Saat tiba di puncak, senja mulai menua. Hamparan pohon cemara gunung menjulang seperti pagar raksasa di sepanjang tepi tebing. Dari ketinggian ini, panorama Kabupaten Konawe Selatan dan sekitarnya terbuka luas. Kota Kendari tampak dari kejauhan, sementara gugusan bukit dan ladang membentang sampai ujung cakrawala. Di sini, langit seolah lebih dekat. Angin berhembus lembut membawa harum tanah dan pepohonan yang masih perawan.
Tanpa rekan, tanpa sinyal telepon, dan hanya ditemani satu tenda kecil serta api unggun seadanya, Al Fath menghabiskan malamnya dalam keheningan yang menenangkan. Malam di Popalia menghadirkan sensasi yang langka—tidak ada suara kendaraan, tidak ada notifikasi dari ponsel, hanya desir angin dan suara pepohonan yang saling bersentuhan. Di dalam tenda, ia menulis catatan tentang apa yang dirasakannya: tentang ketenangan, tentang keberanian, dan tentang betapa manusia ternyata tidak membutuhkan banyak hal untuk merasa bahagia.
Keesokan paginya, sebelum fajar menyingsing, Al Fath keluar dari tenda. Kabut tipis masih menggantung di antara pepohonan. Udara dingin menusuk, tapi justru itu yang membuat suasana semakin magis. Saat semburat cahaya oranye perlahan muncul dari ufuk timur, langit berubah menjadi lukisan hidup. Matahari seakan muncul dari balik kabut, menyinari pucuk-pucuk cemara, dan menghangatkan wajah siapa pun yang menantinya dengan sabar.
Itulah alasan utama banyak orang mendaki Popalia: mengejar fajar di tempat yang jauh dari segala kebisingan. Momen matahari terbit di puncak ini bukan sekadar pemandangan, tapi pengalaman spiritual. Ia menyentuh hati, menghadirkan rasa syukur, dan memanggil orang untuk kembali lagi.
Setelah menikmati pagi, Al Fath kembali menuruni jalur yang sama. Ia sempat berhenti di beberapa titik untuk mengambil foto. Tidak sedikit ia harus duduk untuk mengatur napas karena jalur menurun tak kalah menantang. Ia lalu berpamitan kepada Yusran dan warga setempat, berjanji akan kembali—mungkin tidak sendiri lagi.
Sepulang dari sana, Al Fath mengunggah foto-foto dan catatannya ke media sosial. Responsnya luar biasa. Banyak teman sekolah dan kenalannya bertanya tentang cara ke sana, apa yang perlu dipersiapkan, dan bagaimana kondisi di lokasi. Beberapa dari mereka bahkan langsung membentuk kelompok kecil untuk merencanakan pendakian berikutnya. Popalia mulai dikenal sebagai destinasi akhir pekan yang murah, menantang, tapi sangat berkesan.
Namun seiring meningkatnya jumlah pengunjung, kekhawatiran pun muncul. Minimnya fasilitas dasar seperti toilet, tempat sampah, dan papan penunjuk jalur membuat area ini rentan terhadap kerusakan. Yusran dan warga Desa Ranowila berharap agar setiap pengunjung tetap menjaga kebersihan, tidak merusak vegetasi, dan menghargai alam sekitar. Beberapa inisiatif warga bahkan mulai membentuk sistem jaga dan pemantauan jalur pendakian.
Di balik segala keindahan, Popalia juga menyimpan pelajaran tentang keselamatan. Pernah terjadi insiden seorang pendaki terjatuh ke jurang pada tahun-tahun sebelumnya. Beruntung ia ditemukan dalam kondisi selamat setelah beberapa hari pencarian. Kejadian itu menjadi pengingat bahwa alam harus selalu dihormati, bukan ditaklukkan.
Kini, Puncak Popalia perlahan menjadi simbol baru bagi generasi muda di Sulawesi Tenggara—simbol keberanian menantang diri, rasa cinta pada alam, dan cara sederhana untuk menemukan kembali ketenangan batin. Lewat langkah kaki dan keberanian mendaki seorang siswa SMA, kisah Popalia menemukan jalan untuk menginspirasi lebih banyak orang.
Ketika kota terasa terlalu bising dan rutinitas semakin menekan, barangkali jawabannya ada di ketinggian. Di antara cemara yang hening, kabut pagi yang menyelimuti, dan fajar yang selalu setia kembali. Puncak Popalia menunggu, bukan hanya untuk dikunjungi, tapi untuk dirasakan sepenuhnya. (ADV)