ANOATIMES.COM, BUTON – Tiga orang wisatawan asal Kendari menjelajahi keindahan alam Air Terjun Bembe yang tersembunyi di pedalaman Desa Lawele, Kecamatan Lasalimu, Kabupaten Buton, pada Selasa (1/7). Tanpa hiruk-pikuk keramaian destinasi wisata umum, kawasan air terjun yang dikenal sebagai permata tersembunyi Buton itu menawarkan ketenangan, lanskap tropis alami, dan suara gemuruh air yang membelah kesunyian hutan.
Perjalanan petualangan itu dimulai sejak pukul 07.00 WITA, saat ketiga wisatawan — Irwan Yusuf (32), Nisa Rahmi (28), dan Rahmat Saleh (30) — tiba di Desa Lawele menggunakan sepeda motor dari arah Baubau. Mereka disambut pagi yang sejuk dan hamparan kabut tipis yang menggantung di atas perbukitan hutan Lasalimu. Setelah berkoordinasi dengan warga setempat, mereka memulai perjalanan menyusuri jalur tanah sempit yang menjadi satu-satunya akses menuju lokasi air terjun.
“Butuh waktu sekitar satu jam berjalan kaki dari desa sampai ke lokasi air terjun,” kata Irwan Yusuf kepada wartawan saat ditemui usai perjalanan. “Kami melewati kebun warga, menyeberangi sungai kecil, dan menuruni tebing batu. Medannya menantang, tapi semua terbayar lunas ketika suara air terjun mulai terdengar.”
Air Terjun Bembe, yang masih belum tersentuh pembangunan fasilitas wisata resmi, berada di tengah kawasan hutan tropis yang lebat. Pohon-pohon besar seperti bitti dan kayu jati alami berdiri kokoh di kiri-kanan jalur, sementara tanaman pakis dan lumut menutupi batuan lembab yang menjadi pijakan alami para penjelajah.
Sesampainya di lokasi sekitar pukul 09.00 WITA, ketiganya langsung disambut pemandangan yang memesona: aliran air jernih yang jatuh dari ketinggian sekitar 12 meter, membentuk tirai putih yang berkilauan diterpa cahaya matahari yang menembus sela-sela pepohonan. Di bawahnya, kolam alami dangkal selebar 6 meter menjadi tempat sempurna untuk berendam dan bersantai.
“Ini seperti surga kecil yang belum dijamah banyak orang,” ujar Nisa Rahmi sambil duduk di atas batu besar yang menghadap ke aliran air. “Yang terdengar hanya suara alam. Tidak ada plastik berserakan, tidak ada kebisingan. Rasanya seperti kembali ke masa sebelum pariwisata masif.”
Bagi warga Desa Lawele sendiri, Air Terjun Bembe bukan sekadar tempat wisata, melainkan bagian dari kehidupan sehari-hari yang sejak lama menjadi sumber air bersih dan lokasi berburu tradisional. La Ode Makatte (57), warga yang ikut menemani perjalanan ketiga wisatawan itu sebagai pemandu sukarela, mengatakan bahwa tempat itu dulu hanya dikenal oleh warga desa.
“Dulu yang ke sini cuma petani dan pemburu. Tapi sekarang, sejak ada orang yang unggah foto di internet, banyak yang datang,” kata Makatte. “Tapi kami senang kalau yang datang sopan dan tahu diri. Alam ini harus dijaga.”
Menurutnya, musim terbaik mengunjungi air terjun adalah antara Juni hingga September, saat curah hujan rendah dan jalur hutan tidak terlalu licin. Ia menambahkan bahwa walau belum ada fasilitas wisata, warga lokal bersedia menjadi pemandu jika diminta, untuk memastikan wisatawan tetap aman dan menghormati alam sekitar.
Rahmat Saleh, wisatawan ketiga dalam rombongan, mengaku pengalaman menyusuri jalur alami menuju Air Terjun Bembe adalah bagian terbaik dari perjalanan.
“Biasanya wisata alam sudah terlalu mudah diakses. Tapi ini berbeda. Kita harus berjalan, merasakan tanah, mendengar suara burung, dan melihat jejak-jejak binatang liar. Ini bukan sekadar liburan, tapi pengalaman yang menyatu dengan alam,” katanya.
Kepala Desa Lawele, Amirullah, menyambut baik kedatangan wisatawan yang berminat pada wisata berbasis petualangan dan konservasi. Ia menjelaskan bahwa saat ini pihak desa sedang menyusun rencana jangka panjang untuk menjadikan Air Terjun Bembe sebagai destinasi ekowisata yang dikelola bersama masyarakat.
“Kami sedang bangun komunikasi dengan Dinas Pariwisata Kabupaten Buton. Harapannya ke depan, ada pelatihan untuk warga sebagai pemandu, dan dibangun jalur aman serta titik istirahat tanpa merusak alam sekitar,” katanya.
Menurut Amirullah, desa tidak ingin menjadikan air terjun itu sebagai destinasi massal yang penuh limbah dan kebisingan. Sebaliknya, pihaknya berkomitmen menjaga keaslian hutan dan air, serta menerapkan pembatasan kunjungan jika diperlukan.
“Yang kami cari adalah pengunjung yang punya kesadaran lingkungan. Lebih baik sedikit tapi menghormati, daripada banyak tapi merusak,” ujarnya.
Sebelum kembali ke Kendari pada sore harinya, ketiga wisatawan menyempatkan diri menanam bibit pohon di sekitar jalur masuk, sebagai bentuk dukungan terhadap pelestarian kawasan.
“Kami percaya, kalau kita datang menikmati alam, kita harus meninggalkan sesuatu yang bisa membantu menjaganya,” ujar Irwan Yusuf.
Air Terjun Bembe, meski belum memiliki nama besar seperti destinasi lain di Sulawesi Tenggara, perlahan mulai dikenal di kalangan komunitas petualang dan fotografer alam. Keaslian hutannya, kesegaran airnya, dan keramahan warga setempat menjadi magnet tersendiri bagi mereka yang ingin melepas penat dari hiruk-pikuk kota.
Dengan langkah perlahan namun pasti, Air Terjun Bembe menunjukkan bahwa kekayaan wisata tidak selalu datang dari pembangunan besar-besaran. Kadang, cukup dengan pepohonan yang tetap berdiri, air yang tetap mengalir jernih, dan manusia yang bersedia menghargainya. (ADV)