ANOATIMES. COM, KENDARI – Langit siang di Desa Kolowa, Kecamatan Gu, Buton Tengah, begitu cerah ketika saya dan dua kawan tiba di tepian jalan tanah yang disebut warga sebagai “jalur tani”. Mobil harus berhenti di sini. Sisanya, kami berjalan kaki. Tidak ada gerbang wisata. Tidak ada tiket. Hanya semak, tanah kering, dan jalur kecil yang mengarah ke sesuatu yang tersembunyi. Goa Bidadari menanti, katanya. Tapi belum satu pun dari kami yakin apa yang akan benar-benar kami temui.
Suara serangga dan langkah sepatu beradu dengan tanah basah mengiringi perjalanan kaki kami. Tak lebih dari 100 meter berjalan, mulut gua itu akhirnya terlihat — terbuka lebar seperti rahasia yang siap dibisikkan. Tidak ada suara keras, hanya hawa sejuk yang mulai terasa menyelinap ke kulit. Dari luar, Goa Bidadari tampak seperti lubang gelap biasa. Tapi begitu kaki melangkah masuk, semua berubah. Udara tiba-tiba lebih lembap, dingin, dan hening.
Kami menyusuri lorong pendek menurun, lalu tiba-tiba ruangan besar terbuka di hadapan kami. Dinding-dindingnya menjulang seperti pilar batu, dihiasi ukiran alami stalaktit yang menetes pelan. Di tengah ruangan itu, terbentang kolam air jernih kehijauan yang tak lebih dari dua meter dalamnya. Tapi itulah daya tarik utama: kolam itu digenangi cahaya matahari yang menyorot lurus dari atas, melalui lubang besar di langit-langit gua. Cahayanya tidak hanya menerangi, tapi menciptakan atmosfer magis, seolah-olah kami berdiri di dalam gereja alam yang diterangi altar surga.
“Ini… luar biasa,” ujar Rian, teman saya yang biasanya sulit terkesan. Tapi kali ini matanya terpaku, tangannya refleks meraih kamera, dan mulutnya terdiam lama.
Goa Bidadari memang tidak seperti gua wisata pada umumnya. Tak ada lampu sorot buatan, tidak ada tangga logam, dan belum ada fasilitas resmi yang dibangun pemerintah. Semuanya masih alami — dari jalurnya yang sempit hingga air kolamnya yang dingin menggigit. Tapi justru itu yang membuat tempat ini terasa seperti harta karun yang belum tergali sepenuhnya.
Menurut warga sekitar, gua ini memiliki panjang sekitar 50 meter ke dalam, meski sebagian belum sepenuhnya dijelajahi karena keterbatasan alat. Air di kolam berasal dari sumber alami, dan suhunya selalu lebih rendah dibanding gua-gua lain di wilayah ini. Tidak heran jika mereka menyebutnya tempat mandi para bidadari. Bukan hanya karena keindahan kolamnya, tapi juga karena legenda yang sudah diwariskan sejak dulu.
“Konon dulu ada tujuh bidadari yang turun dari langit untuk mandi di sini setiap siang. Hanya orang berhati bersih yang bisa melihat mereka,” kata La Ode Lasa, warga Kolowa yang sering mengantar pengunjung ke lokasi ini.
Meski tak satu pun dari kami melihat sosok bidadari, kami tahu legenda itu punya makna: Goa Bidadari bukan sekadar tempat indah, tapi ruang sakral yang dijaga oleh alam dan waktu.
Dari sisi petualangan, lokasi ini menantang namun bersahabat. Tidak perlu alat panjat atau pelampung. Cukup sepatu yang nyaman, senter (meski cahaya matahari cukup untuk siang hari), dan semangat menjelajah. Bagi fotografer, momen terbaik datang saat matahari tepat di atas lubang atap — sekitar pukul 12.00 WITA. Cahaya yang masuk akan membentuk garis vertikal sempurna ke tengah kolam, menciptakan ilusi “pintu langit” yang sangat fotogenik.
Untuk mencapai Desa Kolowa, perjalanan bisa dimulai dari Pelabuhan Wamengkoli atau Kota Baubau. Dari Wamengkoli, cukup tempuh 13 kilometer atau sekitar 20 menit berkendara menuju Kolowa. Namun bagi pengunjung dari luar pulau, perjalanan bisa lebih panjang — sekitar 2 jam 20 menit dari Raha (Kabupaten Muna) melalui jalur darat poros Raha–Lombe. Jalan utama sebagian sudah beraspal, namun menjelang desa kondisi jalan menurun kualitasnya, sehingga disarankan menggunakan kendaraan yang cukup kuat di medan rusak ringan.
Kami menghabiskan hampir dua jam di dalam gua, berenang, memotret, lalu duduk diam di atas batu. Tak banyak tempat yang bisa membuat seseorang duduk diam selama itu tanpa merasa bosan. Tapi Goa Bidadari seperti memiliki caranya sendiri untuk membungkam pikiran dan memberi ruang pada keheningan.
Ketika kami kembali ke luar, cahaya siang sudah mulai bergeser. Awan menggantung tipis di langit. Di belakang kami, mulut gua itu kembali gelap seperti semula — menyimpan kembali semua keajaiban di dalamnya.
Meninggalkan Goa Bidadari terasa seperti meninggalkan ruang meditasi. Sepi, tenang, dan penuh rasa kagum. Tidak ada suara lalu lintas, tidak ada dering ponsel, tidak ada penjual oleh-oleh yang memanggil. Hanya rasa syukur karena telah menyaksikan sepotong keindahan dunia yang nyaris tersembunyi.
Pemerintah Kabupaten Buton Tengah saat ini sedang merencanakan pengembangan destinasi ini sebagai bagian dari ekowisata. Namun, masyarakat dan komunitas pencinta alam berharap proses itu tidak merusak sisi alami dan spiritual yang sudah terbentuk secara organik.
Goa Bidadari bukan tempat yang cocok bagi mereka yang mencari kenyamanan ala resort. Tapi bagi jiwa-jiwa petualang yang ingin merasakan sensasi masuk ke dalam “perut bumi” dan disambut cahaya surgawi, gua ini adalah tempat yang akan sulit dilupakan. (ADV)